Kaitan Perilaku Negatif Remaja SMA dengan Pola Asuh Orang Tua
Kaitan Perilaku Negatif Remaja SMA dengan Pola Asuh Orang Tua
Hi readers, are you okay today ?
Berbicara tentang remaja, rasanya terkesan seolah tak ada habisnya.
Kadang kita heran kenapa dari sekian ratus jumlah remaja, mereka begitu
berbeda-beda karakternya terutama ketika berada di lingkungan sekolah. Kadang
kita melihat remaja itu sebagai seorang yang sering bolos, seorang yang suka
merokok saat jam pelajaran, seorang yang suka ceplas ceplos kalo berbicara di
kelas, seorang yang apabila ditanya ini itu justru malah diam saja, dan lain
sebagainya. Kadang kita mudah saja melabeli remaja tersebut, tanpa kita sadari
bahwa mereka juga sama seperti kita. Bersikap abcdefgh ketika bekerja, juga
karena ada banyak latar belakang di balik sikap yang kita tampilkan, mungkin
karena pengalaman masa lalu salah satunya, mungkin karena sedang memiliki
masalah, dan lain sebagainya. Siswa pun demikian, mereka malas-malasan belajar,
ogah-ogahan bahkan terkesan remaja yang nakal, juga karena ada yang
melatarbelakanginya. Latar belakangnya apa ? Kita tak akan pernah tahu tanpa
kita bertanya mendalam dengan tulus. Kita manusia, kita tidak sempurna, kadang
kita tahu ilmunya, tapi kita masih harus terus belajar untuk mengaplikasikannya.
Everyone, ada istilah ‘’remaja jaman now’’. Wait, yang disebut
remaja itu menurut Erikson yang seorang
tokoh psikologi adalah individu berusia 12-18 tahun. Menurut APA (American Psychological Association)
atau Asosiasi Psikologi Amerika, remaja
itu berusia 10-19 tahun. Berarti betul ya jika dilihat dari usia, siswa SMA ini
masuk ke kategori remaja, karena rata-rata mereka berusia 15-18 tahun.
Okay lanjut, kita akan berbicara remaja SMA yang hidup di tahun 2022.
Rasanya besar sekali ya, 2022. Seperti yang kita ketahui, berarti remaja ini
lahir di sekitar tahun 2004 sampai 2007, artinya mereka adalah orang-orang Gen
Z. Yups, gen Z salah satu cirinya adalah akrab dengan yang namanya teknologi
seperti hp, laptop, internet,
aplikasi-aplikasi di hp, game, dan
semacamnya.
Setelah berbicara panjang lebar, lalu apa hubungannya antara remaja gen
Z dengan perilaku remaja yang berbeda-beda terutama remaja yang bermasalah
serta faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku mereka.
Berdasar observasi dari 5 orang remaja, perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh remaja terkait dengan pola asuh yang diberikan oleh orang tua
mereka.
1. Remaja 1 cukup sering bolos saat jam pelajaran, remaja
ini terkait dengan pola asuh neglectful atau
penelantaran
2.
Remaja
2 juga cukup sering bolos dan malah merokok di warung dekat rumahnya, remaja
ini terkait dengan pola asuh neglectful atau
penelantaran
3.
Remaja
3 melakukan kenakalan remaja (juvenile delinquent),
remaja ini berasal dari orang tua yang bercerai dan salah satu orang tuanya
cenderung permissive (memanjakan)
4.
Remaja
4 melakukan kenakalan remaja (juvenile delinquent),
remaja ini cenderung dibesarkan dengan pola asuh permissive (manja)
5.
Remaja
5 mengalami masalah psikologis yang cukup berarti, remaja ini berasal dari
orang tua yang bercerai, dimana pola asuhnya adalah campuran, orang tua yang
satu cenderung demokrasi atau otoritatif dan orang tua satunya cenderung neglectful atau uninvolved atau penelantaran.
Berdasar 5 hal diatas, maka dapat dilihat bahwa remaja yang tidak menaati aturan sekolah dan
melakukan juvenile delinquent terkait
dengan pola asuh dari orang tua yang negatif seperti neglectful dan permissive.
Baik, kita jabarkan dulu satu persatu
mengenai 4 macam pola asuh orang tua yang dilansir dari https://iastate.pressbooks.pub/ menurut
Diana Baumrind yang seorang tokoh Psikologi dari Amerika Serikat :
1. Otoritatif
Pada pola asuh ini hubungan orang tua dan anak
bersifat hangat, sehingga anak cenderung memiliki jiwa kompetensi yang lebih
besar dan lebih percaya diri, orang tua dan anak memiliki komunikasi yang baik,
orang tua bersikap responsif, dan ketika orang tua melarang anak untuk
melakukan sesuatu orang tua memberikan penjelasan logis..
‘’In general, children tend to develop greater competence and self-confidence when parents have high-but reasonable and consistent- expectations for children’s behavior, communicate well with them, are warm and responsive, and use reasoning rather than coercion to guide children’s behaviors. This kind of parenting style has been described as authoritative.’’
2.
Otoritarian
Pada pola asuh otoritarian, orang tua bersikap menuntut
anak dan memberikan dukungan yang rendah. Orang tua menuntut anak agar patuh
dan orang tua tidak memberikan alasan apapun mengenai apa alasan anak harus
patuh terhadap perintah mereka.
Sederhananya, pola asuh otoritarian ini seperti ‘’kalo kata orang tua
harus A maka A, tidak mau tau, dan anak tidak perlu tanya apapun, ikuti orang
tua saja’’.
‘’Parents using the authoritarian (“rigid ruler”) approach are low in support
and high in demandingness. These parents expect and demand obedience
because they are “in charge” and they do not provide any explanations for their
orders.’’
3.
Permisif
Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan
dukungan yang besar namun tanpa disertai tuntutan apapun. Orang tua bersikap
begitu lunak. Pola asuh seperti ini cenderung membuat anak memiliki perasaan
bahagia yang rendah, regulasi diri yang rendah, anak cenderung memiliki masalah
dengan otoritas. Orang tua yang membesarkan anak dengan permisif tidak melekatkan
anak pada batasan aturan dan menghindari konfrontasi atau perselisihan. Sederhananya,
pola asuh permisif ini memanjakan anak.
‘’Parents who are high in support and low in
demandingness are likely using the permissive-also called the indulgent-style. Their children tend to
rank low in happiness and self-regulation, and are more likely to have problems
with authority. Parents using this approach are lenient, do not expect
their children to adhere to boundaries or rules, and avoid confrontation.’’
4.
Penelantaran
(Uninvolved atau Neglectful)
Pada pola asuh penelantaran, orang tua tidak
memberikan dukungan dan tidak juga memberikan tuntutan sehingga anak memiliki
poin yang rendah di sepanjang perjalanan hidupnya, memiliki rasa harga diri
yang rendah, kontrol diri rendah, dan kurang berkompetensi jika dibanding dengan
teman sebayanya.
‘’Children reared by parents who are low in
both support and demandingness tend to rank lowest across all life domains,
lack self-control, have low self-esteem, and are less competent than their
peers. Parents using the uninvolved (or sometimes referred to as indifferent or neglectful)
approach are neglectful or rejecting of their children and do not provide most,
if any, necessary parenting responsibilities.’’
Jika kita hubungkan antara 5 remaja diatas yang tidak menaati aturan
sekolah dan melakukan juvenile delinquent,
maka memang terkait dengan isu pola asuh orang tua yang negatif, diantaranya permisif
dan penelantaran. Hal ini dapat kita fahami, keadaan rumah atau keadaan orang
tua yang tidak hangat terhadap anak remajanya membuat remaja tersebut mengalihkan
kebutuhan akan kasih sayang dari orang tua kepada hal-hal negatif.
Selain itu, 5 remaja ini juga merupakan gen Z, dimana akses kepada
internet, hp, game, aplikasi-aplikasi
di hp, penggunaan sosial media seperti Tik-Tok,
Youtube, Instagram, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya menjadi teman
akrab mereka sehari-hari. Penggunaan teknologi tersebut bisa menjadi sebuah pelipur
lara bagi remaja terkait untuk melupakan kebutuhan mereka akan kasih sayang dan
kehangatan dari orang tua. Tentu saja, hal ini bukan sebuah solusi, karena
berbagai info dan tayangan baik negatif maupun positif tersebar luas di internet, hingga seringkali membuat
remaja ini lebih menyukai bolos sekolah karena bebas bermain hp dan merokok.
Berdasar hal tersebut, disinilah peran guru BK untuk bisa mengarahkan
kelima remaja ini agar mereka tetap dapat berperilaku sebagaimana mestinya
meskipun keadaan orang tua tidak seperti yang mereka harapkan. Bagaimanapun
juga, mereka adalah individu, memiliki masa depan, bahkan generasi penerus
bangsa ini, rantai kesedihan dan kekecewaan akan keadaan keluarga semestinya
perlahan bisa dipangkas, sehingga kelima remaja ini mampu beresiliensi dan berperilaku
hardiness, yaitu mampu menjadikan diri mereka sendiri sesuai dengan potensi dan
minat yang mereka miliki, memiliki ketangguhan dan tekad yang kuat, sehingga
harapannya jika kelima remaja ini mampu beresiliensi dan bersikap hardiness,
maka mereka tetap dapat memiliki perasaan bahagia yang positif, memiliki
tujuan, mampu menerima kenyataan dengan ikhlas, dan hal ini tentu terkait dengan kesehatan mental
mereka yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar